Salah satu hal yang menyebabkan orangutan terancam adalah fakta bahwa di
Indonesia, 80 persen orangutan berada di luar wilayah konservasi.
Mereka pun berada di luar wewenang Direktorat Konservasi dan
Perlindungan Alam Kementerian Kehutanan. Maka, orangutan-orangutan yang
berada di luar kawasan konservasi berada di bawah 'kemurahan hati' para
pemegang hak pengelolaan hutan.
Sial bagi orangutan jika para
pemegang hak pengelolaan hutan adalah pengusaha kelapa sawit yang tidak
menyediakan cukup ruang bagi orangutan untuk bergerak, atau malah
menganggap mereka sebagai hama. Orangutan memang suka memakan buah
kelapa sawit, setidaknya buah yang berusia di bawah 3 tahun.
Deputi
Direktur Konservasi Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI)
Aldrianto Priadjati, Kamis (2/2), mengatakan bahwa daya jelajah
orangutan bisa mencapai 100-150 hektar per individu orangutan.
Sementara, dari kebun-kebun sawit yang ia kunjungi pada 17-22 Januari
2012 lalu di Kalimantan Timur, area konservasi di dalam perkebunan tidak
sampai 5-10 hektar. Ia mengunjungi beberapa perkebunan kelapa sawit
tersebut untuk melihat kondisi orangutan.
Aldrianto adalah
bagian dari tim penyelamatan gabungan yang tersdiri dari RHOI, Borneo
Orangutan Survival Foundation (BOSF), dan Balai Konservasi dan Sumber
Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA Kaltim). Mereka sengaja menyisir
beberapa perkebunan sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
Timur untuk melihat kondisi orangutan di lapangan setelah muncul
pemberitaan-pemberitaan akan pembunuhan primata tersebut.
Secara
tidak sengaja, tim berhasil menemukan dua individu (ibu dan anak) di
lahan perkebunan milik PT Bakacak Himba Bahari. Mereka sudah pernah ke
wilayah perkebunan itu sebelumnya, hanya tidak menemukan orangutan meski
melihat ada sarang-sarang baru.
"Kami menunggu jam 5-10 pagi,
lalu 4-7 sore, karena pada jam-jam itulah orangutan ada di sarangnya. Di
luar jam tersebut, orangutan akan mencari makan atau mengeksplorasi
wilayah, akan makin susah bertemu."
Dalam kunjungan hari itu,
mereka mendapat informasi dari petugas keamanan yang mengatakan ada
orangutan yang sedang dikepung setelah semalaman dikejar-kejar. Petugas
keamanan tersebut pun meminta tim untuk tidak mengatakan bahwa informasi
itu datang dari dia. Tak berapa lama, tim penyelamatan pun mendapati
beberapa orang yang sedang mengelilingi orangutan betina berusia 25
tahun dan anak orangutan, berusia 6 tahun, dalam gendongan.
Ia
terduduk tenang sekitar 500 meter dari kebun persemaian, kemungkinan
kelelahan setelah semalam suntuk dikejar-kejar. Padahal biasanya tak
mudah memotret orangutan di alam liar atau mendapati mereka dalam
kondisi diam.
Aldrianto melihat ada beberapa orang dalam
rombongan itu yang membawa parang. "Kita tidak tahu apa yang akan mereka
lakukan. Parang bisa digunakan sebagai alat menyerang atau untuk
mempertahankan diri. Tapi mereka sempat membuang parang melihat kami,"
kata dia.
Beberapa orang yang mengelilingi induk dan anak
orangutan itu sempat membantu tim penyelamatan untuk membius induk
orangutan dan menanamkan chip pelacak. Namun sesudahnya, mereka seolah
meminta balasan. Ucapan 'terima kasih' tak cukup buat rombongan yang
diduga tidak berasal dari wilayah lokal, jika didengar dari aksen dan
dialeknya.
Tim Aldrianto tak berani membayangkan apa yang akan
terjadi pada induk dan anak orangutan itu jika mereka datang lima atau
sepuluh menit lebih lambat. Kedatangan mereka benar-benar tepat pada
waktunya. Lebih untung lagi saat mereka kemudian mengetahui bahwa si
induk tengah hamil tiga bulan.
Induk dan anak orangutan yang
kemudian dinamai Suci dan Sri itu kemudian dipindahkan ke Hutan Kehje
Sewen, Kutai Timur, milik RHOI seluas 86.450 hektar. Yang menarik,
ketika Suci yang dalam keadaan dibius tiba di Kehje Sewen, ia tiba-tiba
siuman dan langsung memanjat pohon. "Mungkin karena mencium bau hutan,
tapi itu belum pernah kami lihat sebelumnya. Sangat mengharukan," kata
Aldrianto lagi.
Sebenarnya, Aldrianto melihat beberapa sarang
orangutan, tetapi mereka tak sempat 'menyelamatkan' orangutan-orangutan
lain yang kemungkinan besar ada di lahan perkebunan tersebut.
Keberadaan
orangutan di lahan-lahan perkebunan kelapa sawit juga diakui oleh
Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur (BKSDA)
Tandya Tjahjana. Ia sudah berkali-kali mengirimkan surat pada banyak
perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Timur dan hanya mendapat sedikit
jawaban. Balasannya pun semua mengatakan, "tidak ada orangutan di
perkebunan mereka."
Mungkin perusahaan-perusahaan kelapa sawit
ini tidak mau repot-repot mencari tahu. Tetapi, mungkin bisa saja
orang-orang lapangan di perusahaan kelapa sawit tersebut tidak bisa
mengenali sarang orangutan. "Pengetahuan mereka terbatas," kata Tandya.
Ada
hal positif dari meledaknya pemberitaan soal pembunuhan orangutan,
perusahaan-perusahaan kelapa sawit jadi lebih mendengar permintaan
BKSDA. "Mereka juga takut pada sanksi hukum. Orang-orang bisnis ini
tidak maulah kena kasus hukum," ujar Tandya.
Belajar dari
pengalaman penyelamatan dan pelepasliaran Suci dan Sri, Tandya juga
ingin BKSDA Kalimantan Timur untuk meningkatkan frekuensi patroli ke
kebun-kebun kelapa sawit.
Siapa sebenarnya para pemburu yang mengelilingi Suci dan Sri pada hari itu?
Tandya
dan Aldrianto hanya bisa berasumsi akan motivasi mereka. Namun Presiden
Direktur RHOI Jamartin Sihite mencatat kini muncul tren perburuan
oportunistik. "Ujung-ujungnya memang uang, tapi apakah pekerjaan mereka
sehari-hari berburu orangutan, kami belum bisa pastikan," kata dia.
Yang
pasti, banyak orangutan yang terlempar dari habitat aslinya karena
perluasan lahan kebun kelapa sawit. Orangutan-orangutan yang terlempar
dari habitat aslinya itu, jika tertangkap, kemudian dimanfaatkan untuk
keuntungan ekonomi. "Misalnya, induk dan anak tertangkap, ada yang lihat
anaknya lucu, ya dijual," kata Jamartin.
Tapi Jamartin juga
mengingatkan, setiap satu bayi orangutan di kandang, berarti ada satu
induk orangutan yang mati. Alasannya, orangutan akan terus menggendong
bayinya sampai berusia tujuh tahun. Selama itulah sang induk mengajarkan
pada bayinya cara hidup di alam liar.
Jika bayi orangutan sudah
tidak mendapat pengetahuan itu dari induknya, maka butuh waktu tahunan
untuk menyiapkan si orangutan ini untuk mengajarkan ulang soal hutan.
Padahal,
karena induk orangutan cenderung bertahan di wilayahnya, ini menjadikan
orangutan betina dan bayinya lebih rentan sebagai korban. Dengan
situasi seperti ini, tak heran jika kemudian populasi orangutan turun
drastis.
Suci dan Sri diselamatkan pada saat yang tepat. Tetapi
apa yang terjadi pada orangutan-orangutan lain di wilayah perkebunan
kelapa sawit? Di sinilah Jamartin menegaskan perlunya perkebunan kelapa
sawit untuk mulai memperhatikan keberadaan satwa di areal mereka.
"Penyelamatan
dan pelepasliaran harusnya jadi opsi terakhir. Yang utama adalah bahwa
perusahaan-perusahaan ini harus menunjukkan strategi pertanggungjawaban
menjaga satwa dan biodiversitas di lahan usaha mereka. Biaya-biaya untuk
menjaga kelestarian hutan harus menjadi bagian dari ongkos produksi
mereka," tambahnya lagi.
4 Februari 2012
Penyelamatan Yang Tepat
2/04/2012 10:44:00 PM
Unknown
No comments
0 komentar:
Posting Komentar